semua bebas memaknai kehidupan...begitu pula kebebasan dalam memaknai setiap huruf dalam goresan hati dan pikiran ini

.


kadang hati ingin mengungkap...
kadang mulut malas untuk mengucap...

cuma satu cara untuk membuatnya terlontar...
lewat kata-kata ini aku coba bersua...

Kamis, 09 Juli 2009

"Tanpa judul..."

Tak mungkin ada fajar

Jika malam tak berakhir

Tak mungkin ada bunga

Jika kuncup hanya bersembunyi

Mungkinkah embun mengenal rumput

Jika ia tak pernah menyentuhnya

Dapatkah langit memahami bintang

Bila mereka tak pernah berjumpa

Aku di sini…

Aku ada…

Perjumpaan membuat kuncup tak lagi sembunyi

Pertemuan membuat embun mengenal rumput

Pertemanan membuat langit terang berbintang

Karena itu, kau juga ada…

[MK]

"Rindu...!"

Bagai burung mengisap madu..

Banyak menjadi biasa,

Sedikit menjadi amat berarti

Urung hati ini untuk menggores lebih dulu

Penantian terasa di setiap menit

Kian datang…

Namun sering menghilang

Lama jiwa ini duduk di penantian

Sedikit getir, tapi tak ingin beranjak

Walau kadang penat terbesit

Tapi ku tahan tangan ini memanggil

Rindu…..!

Pada pola piker rumitnya

Rindu…!

Tentang tatapan saat perjumpaan awal

Ku bendung semua rasa itu

Dengan kenyataan… ia tak lagi sendiri

[MK]

"Napas baru"

Elang kian terbang di atas udara

Memantau ke seluruh penjuru ini

Lelah akhirnya terasa

Bukan karena goresan ranting

Tak juga karna rintikan hujan

Kenapa???

Cahya tak segan mengintip

Dari rimbunnya dedaunan

Aku pun dapat membuka mata

Karena tajamnya sinar masuk ke dalam denyutku

Asa.. biarlah asa

Yang ku bawa seiring derap langkahku

Karena ku yakin…

Jika rumput ingin bergoyang

Jika air ingin mengalir

Jika mentari ingin menyingsing

Berarti elang siap untuk terbang

[MK]

"Ingatku"

Saat ku buka mata ini

Ku berharap mentari kan menuntunku

Ku sapa setiap embun yang ku lalui

Mencoba mengerti di balik rerumputan

Ku coba raih rembulan

Saat terangnya mengenai ujung rambutku

Namun gelombang pun ikut surut

Langit tak lagi bersua

Hati menjadi getir dan geram

Asa terbang menjadi debu

Tapi ku tetap ingat akan hari itu

Dimana jejak-jejak langkahmu

Selalu tertinggal di atas pasir

Walau jutaan gelombang telah menghempasnya

[MK]

"Hilang"

Rasa… dan asa…

Seiring langkah menuntun pada kenyataan

Rasa hadir menancapkan tongkat baru

Namun asa tak berani berkata

Hanya sinar dan angin yang tau

Arah bayang menjadi tumbang

Ketika sinar pergi menjauh

Dan angin tak lagi menyentuh…

Semua…apa artinya???

Kawanan burung hilir mudik

Kian menjadi jatuh satu per satu

Nyanyian gemercik sungai…

Hilang di balik gemuruh derasnya hujan

Hati kian berteriak tanpa suara

Hanya bisa menangis tanpa air mata

Keramaian… tapi sepi

Mengapa???

Karna cuma rasa dan asa yang tau

[MK]

"Asa"

Tak kan ku buat pucuk saat menanam

Karena bukan tak mungkin layu sebelum berkembang

Lelah…

Jika ku selalu mencari mutiara di balik kerang

Awal terasa indah,

Terasa bagai kristal dalam etalase

Namun, entah mengapa…

Semua begitu rapuh

Tidak kekal…

Mudah berganti…

Hingga kristal dapat pecah kapan saja

Ku tutup mata ini

Ku hirup napas ini

Lalu ku akan mulai membuka mata

Sambil melangkah…

Tanpa berharap menemui krisan di antara alang-alang

Biarlah semua menjadi alang-alang

Atau hanya tanah sekalipun

Hingga krisan itu muncul sendiri

[MK]

"Aku"

Aku di sini karena aku ada

Aku berpikir agar aku tetap ada

Setiap kali aku berpikir, maka aku ada

Setap kali aku ada, aku akan berpikir

Aku ada, aku berpikir, kemudian aku punya mimpi

Karena aku berpikir dan aku ada

Maka mimpi itu harus dapat ku raih

[MK]

"Angin"

Andai aku tau…walau ku tak ingin tau

Nuraniku tak tau kemana perginya angin

Jiwaku tak merasakan darimana kau berhembus

Tapi aku sadar akan kehadiranmu

Kapan kau datang, apa yang terjadi

Dan kapan kau pergi

Untuk sementara atau selamanya

Akan ku katakan pada burung

Kau datang padaku walau hanya dalam bayang

Ku ceritakan pada bintang

Denyutmu mengisi lembar hidupku

Ku simpan semua dalam untaian mutiara

Walau kau pernah menghempasku dengan debu

Menampar sanubariku dengan badaimu

Buatku… kau tetaplah angin

Yang ku kenal sejak kau hadir

Dan tetap ku kenang…

Hingga fajar tak lagi menyingsing

[MK]

Selasa, 07 Juli 2009

Venezia: Kota Air dan Lautan Merpati


Begitu kita mendengar kata Venezia, pasti kita langsung terbayang gondola. Venezia memang diidentikkan dengan gondola. Gondola dan beberapa jenis perahu menjadi alat transportasi yang cukup penting di Venezia. Sebagian besar wilayahnya adalah air. Gedung-gedung berdiri tegak di sepanjang pinggir laut. Pemandangan saat pertama kali sampai di Venezia adalah hamparan airnya. Maka tidak sedikit orang yang jauh-jauh berkunjung ke kota ini karena ke-eksotisan hamparan airnya.

Gondola memang bukan satu-satunya transportasi yang dapat digunakan untuk berkeliling di atas hamparan air di Venezia, bahkan gondola lebih bersifat alat transportasi wisata, sehingga jalur kelilingnya jarang melalui laut lepas, melainkan melalui aliran sungai yang melintasi tengah pusat wisata. Tidak sedikit orang yang penasaran naik gondola untuk berkeliling melihat keindahan gedung-gedung tua Venezia. Kebanyakan dari mereka adalah para pasangan kekasih yang ingin merasakan romantisme di tengah kota air dan hangatnya sinar matahari.

Untuk dapat menikmati wisata berkeliling gondola memang tidak murah, dengan waktu satu jam berkeliling tempat wisata Venezia, kita harus merogoh kocek dalam-dalam yaitu 100 uero, sekitar Rp 1.200.000,-. Transportasi ini menjadi daya tarik kota Venezia, sehingga sang pendayungnya pun memiliki baju yang khas sebagai pendayung gondola. Umumnya mereka menggunakan baju garis-garis hitam putih atau merah putih, memakai celana hitam dan memakai topi hitam. Bangku gondola dibuat senyaman mungkin, dengan bantalan empuk bersarung beludru. Jumlah maksimum penumpangnya adalah empat orang. Memang tidak akan merasa sia-sia jika kita mengeluarkan uang untuk naik gondola bersama orang yang kita cintai sambil menikmati suasana romantis di antara gedung-gedung yang telah dimakan usia, pasti menjadi pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Venezia selalu menjadi bayangan romantisme kota di Itali, tapi di balik ke –eksotisannya, Venezia juga menjadi kota yang mahal dengan harga barang-barang yang cukup mahal. Di sepanjang jalan menuju pusat wisata, terdapat toko-toko di gang sempit yang menjual barang-barang dari disainer Eropa yang terkenal. Selain itu, terdapat barang dagangan yang dapat dijadikan cinderamata khas Venezia, yaitu topeng. Topeng ini memiliki riasan yang agak sedikit seram namun dengan kombinasi topi dengan warna-warna terang. Konon, topeng ini merupakan cerita legenda orang Venezia yang dikutuk sehingga wajahnya menyerupai badut yang seram. Harga topeng di tempat wisata ini memang tidak murah, mungkin sebagai pilihan lain untuk cinderamata, kita bisa membeli miniatur topeng badut sebagai gantungan kunci, magnet lemari es, atau topeng yang bahannya terbuat dari plastik.

Mahalnya kota Venezia selain karena harga barang-barang yang dijual di kios sepanjang tempat wisata, juga karena biaya untuk buang air kecilnya. Untuk dapat menggunakan toilet umum, kita harus membayar sebesar 1 uero, kira-kira Rp 12.000,-. Sistem penggunan toilet tidak seperti di negara kita, kalau di Indonesia, kita membayar setelah menggunakan toilet. Tetapi di Venezia, tepatnya di tempat wisata, kita harus memasukkan koin 1 uero untuk dapat membuka pintu toilet. Jangan khawatir jika kita tidak menyediakan uang koin 1 uero di dompet kita, karena di pintu depan toilet, ada petugas penukaran uang, ini cukup memudahkan kita yang tidak membawa uang koin. Jadi cukup terbayang , jika kita tidak membawa uang yang cukup, kita akan sulit buang air.

Jangan khawatir seandainya kita memang tidak memiliki uang yang cukup banyak untuk menikmati keindahan Venezia. Kita tidak perlu naik gondola, cukup naik perahu umum yang dapat mengantarkan kita dari dermaga ke dermaga, walaupun sedikit berdesakan, tapi cukup membuat kita merasakan kota air sebagai pengalaman. Untuk dapat naik perahu ini, kita perlu mengantri dan membayar 7 uero. Selain itu, tanpa kita harus membeli oleh-oleh yang mahal, kita cukup mengabadikan diri kita di pusat kota wisata Venezia. Di sini terdapat ribuan burung merpati, sehingga tampak seperti lautan burung merpati. Burung-burung ini cukup jinak jika kita memberinya makanan. Tidak perlu bingung untuk memberi makan apa, karena di sini banyak pedagang yang menjual makanan burung seharga 1 uero. Kita bisa mengajak burung-burung merpati itu untuk foto bersama. Jika kita memang sangat ingin membeli cinderamata khas Venezia sebagai kenang-kenangan, ada deretan toko di dekat pelabuhan utama dan memang agak jauh dari tempat wisata, yang menjual barang-barang dengan harga lebih murah. Dengan demikian, kita dapat sedikit menghemat dan tetap merasakan eksotisnya kota Venezia.(MK)

Sampah Dimana-Mana! Tempat Sampah Dimana?

Pernah nggak sih kita berpikir betapa pentingnya tempat sampah? Mungkin terdengar sepele, tapi sadar atau tidak sebenarnya tempat sampah telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari manusia membuang sampah, baik sampah organik seperti sisa makanan, ataupun sampah kertas, plastik, karton, dan lain-lain. Barang-barang yang tidak diperlukan, tentu harus dibuang, dan kita membutuhkan tempat sampah untuk menampungnya.

Terkadang kita hanya menyalahkan keberadaan tempat sampah. Jarang terdapatnya tempat sampah di pinggir jalan membuat kita jadi malas untuk membuang sampah di tempatnya. Dua tahun terakhir kampanye tentang pentingnya membuang sampah di tempatnya semakin semarak digalakkan. Tapi apa hasilnya? Tetap saja sampah berserakan dimana-mana. Hal ini terjadi dengan berbagai kemungkinan, misalnya kurang mengertinya betapa penting membuang sampah di tempatnya, seperti mencegah banjir dan penyakit. Selain itu, fasilitas tempat sampah terkadang juga tidak memadai, seperti tempat sampah bolong sehingga sampahnya tetap berserakan dimana-mana. Atau hal lain lagi, yaitu sifat manja kepada petugas kebersihan, ” ah nanti juga ada petugas kebersihan yang bersihin”. Beberapa hal inilah yang tidak dapat dipungkiri bahwa sampah selalu ada di sekitar kita.

Negara-negara maju seperti negara di Eropa, telah berhasil membuat sampah berada di dalam tempatnya. Sikap disiplin ini bukan secara instan dibangun, melainkan proses yang pada akhirnya membuat orang-orang sadar akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Kampanye dilakukan bukan hanya untuk memberitahu bahwa membuang sampah pada tempatnya itu adalah tindakan yang baik dan harus dilakukan, yang lebih penting dari sekedar tahu adalah paham. Dengan pemahaman, orang akan secara otomatis membuang sampah di tempatnya. Namun membangun pemahaman inilah yang tidak mudah.

Pemerintah dan berbagai lembaga masyarakat berusaha dan berupaya untuk dapat menumbuhkan pemahaman pentingnya membuang sampah pada tempatnya. Salah satunya dengan menyediakan tempat sampah di berbagai tempat umum, seperti pusat perbelanjaan, stasiun, bahkan mahasiswa pun ikut turun tangan melakukan kampanye di kampus-kampus, dengan membuat tempat sampah di setiap sudut kampus. Terlebih lagi dengan program yang mendukung penghijauan, maka sampah perlu dipisahkan, yang organik dan non-organik. Pertanyaannya, apakah semua itu sesuai dengan tujuannya? Tanpa perlu di jawab, kita semua tahu bahwa keberadaan tempat sampah belum sepenuhnya efektif menampung sampah-sampah yang masih berserakan dimana-mana.

Warga di jalan Kramat V, Salemba, Jakarta Pusat, pernah mengadakan perlombaan menghias tempat sampah pada tahun 2006. Perlombaan menghias tempat sampah dilakukan dengan mengecat tempat sampah di depan rumah dan membedakan tempat sampah yang organik dan non-organik melalui perbedaan warna cat. Tujuan Rukun Tetangga setempat melakukan kegiatan ini agar warga paham dan bisa membedakan sampah organik dan non-organik. Dengan pemahaman lanjutan, bahwa sampah organik dapat diolah menjadi pupuk kompos. Namun, setelah lomba dilakukan dan diperoleh pemenangnya, sampah mereka tetap tercampur, bahkan ada yang membuang sampah daun di dalam tempat sampah non-organik. Hal ini dikarenakan warga tidak benar-benar paham maksud dilakukannya kegiatan perlombaan, bahkan warga yang menang tidak mengerti sepenuhnya arti pemisahan sampah, yang mereka tahu hanya membuat dan mengecat tempat sampah dengan gambar-gambar bagus, dan yang paling bagus akan dapat hadiah.

Keadaan lainnya di lingkungan kampus di daerah Depok. Keberadaan tempat sampah di setiap sudut kampus rasanya tidak benar-benar membuat paham pembedaan sampah ke tiga kategori yaitu sampah kertas, sampah organik, sampah plastik. Ukuran tempat sampah yang besar dan tulisan yang cukup jelas pada bagian tutup tempat sampahnya tidak menjadi ukuran keberhasilan pemisahan sampah. Apa buktinya? Setiap orang membuang sampah pada kotak secara asal. Kertas di kotak organik, plastik di kotak kertas, organik di kotak plastik. Walaupun tidak sedikit pula yang membuang sampah sesuai dengan kotaknya. Namun, yang perlu dipertanyakan, mengapa dalam lingkungan pendidikan tinggi, hal mengenai pemisahan sampah belum juga bisa dilakukan secara efektif? Jawabannya sederhana, ternyata ketika sampah-sampah itu diangkut untuk dibuang ke pembuangan di luar lingkungan kampus, sampah tetap di gabung dalam satu gerobak sampah. Artinya, walaupun sudah dibuang terpisah-pisah dalam kotak, pada akhirnya tercampur dalam gerobak. Inilah yang membuat program pemisahan sampah tidak berjalan efektif.

Keadaan lebih parah adalah di pasar tradisional, contohnya pasar Ciputat. Sejak dahulu Ciputat memang dikenal sebagai daerah yang super macet, karena angkutan umum ngetem di sembarang tempat, tetapi setelah proyek fly over yang dilaksanakan selama satu tahun dan resmi dapat dipakai pada bulan Agustus 2008, kemacetan bisa dikurangi. Tetapi masalah sampah di Ciputat masih selalu meresahkan masyarakat pengguna jalan. Pedagang sayur yang berjualan di pasar, terutama yang berjualan tengah malam, selalu membuang sampah di tengah jalan. Jika tidak diangkut petugas kebersihan, pasti menghalangi lalu lintas di pasar. Keadaan ini sudah bisa diatakan mendingan, karena sudah tidak ada jalan berlubang di pasar. Ketika masih ada jalanan rusak dan berlubang, sampah-sampah sayuran digunakan untuk menambal jalan. Apa yang terjadi? Jumlah sampah semakin berantakan, terlebih jika hujan turun, bau busuk menyengat dan jalanan semakin becek. Lalu kapan sampah-sampah ini dapat berada di tempat yang seharusnya? Padahal bak sampah pun tersedia dengan luas 3x5 meter.

Dengan demikian, upaya apa dan bagaimana yang bisa membuat keadaan lingkungan kita terbebas dari sampah. Ini bukanlah masalah sepele, dan hanya ada satu penyelesaiannya, kita tanya pada diri kita masing-masing.(emka)

Melestarikan Seni Bersama “Nyok Neng”


Kue bolu kue rengginang
Roti-roti dalam tetampe
Dari dulu udah dibilang
Kalo setengah ati, buat ape

Itulah pantun yang menjadi sinopsis tari “Nyok Neng”. Tarian ini pertama kali ditampilkan di Balai Sidang Universitas Indonesia pada tanggal 23 Mei 2008 pada acara seleksi wilayah DKI Jakarta untuk Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) IX yang diikuti berbagai universitas di Jakarta. Setelah lolos seleksi, tarian ini mengalami berbagai perubahan dan penyempurnaan, dan untuk kedua kalinya ditampilkan pada Peksiminas IX di Taman Budaya Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi yang berlangsung pada tanggal 23-29 Juli 2008.
Tari yang berjudul “Nyok Neng” karya dari koreografer muda Marina Krisnawati dari Universitas Indonesia dan Arimbi budiono sebagai asisten koreografer, mengusung tema perempuan. Tarian ini menceritakan tentang dua sifat perempuan yaitu kasar dan lembut.Pada klimaksnya terjadi pergulatan batin di dalam diri perempuan yang bimbang harus bersikap dalam menghadapi kehidupan, dan sebagai antiklimaksnya perempuan dalam era kehidupan yang serba cepat dan instan, harus dapat menjadi perempuan yang kuat walaupun tetap mempertahankan sifat lembut di dalam dirinya.
Tiga orang memerankan perempuan dengan sifat lembut dan sangat halus, sesuai dengan iringan musik tekyan dan alunan tembang yang keluar dari pemusik. Lalu, tiga orang silam ke belakang panggung dan digantikan tiga orang berikutnya yang memerankan sifat perempuan yang kasar dan kuat. “Dua peran ini memang sengaja di munculkan dengan waktu yang berlainan, dengan iringan musik yang sangat kontras, “biar orang yang nonton bisa menangkap pesan yang diberikan melalui gerak dan musik”, ungkap Marina. Gerak tari “Nyok Neng” berasal dari gerakan dasar tari topeng Betawi yang dikreasikan dan dipadukan dengan cerita ke-kini-an sehingga menghasilkan tari kontemporer tradisi. Pada bagian pergulatan batin, dua peran dipertemukan dalam gerakan yang implisit menunjukan kebimbangan dan pertentangan oleh dua orang yang berbeda peran, yang kemudian terjadi titik temu di antara dua peran yang berbeda. Bagian terakhir, ditarikan oleh seluruh penari dengan gerakan yang rampak. Tarian ini berdurasi sepuluh menit dua belas detik.
“Nyok Neng” memang diciptakan dengan alasan keikutsertaan dalam ajang perlombaan nasional. Namun, dibalik alasan itu, penciptaan “Nyok Neng” menjadi salah satu cara melestarikan seni, khususnya tari Betawi. Keseluruhan gerak memang tidak murni berbentuk gerakan tari topeng Betawi, tetapi gerakan dasar topeng Betawi seperti mendak, kewer, dan selancar dikreasikan menjadi bentuk yang baru sehingga menghasilkan gerakan yang termodifikasi. Ditambah lagi dengan gerakan tari kontemporer, menjadikan “Nyok Neng” hadir dalam kemasan gerak tari yang dinamis. Iringan musik yang keluar dari bunyi gambang kromong, tekyan, kenong, kecrek, gong, dan gendang menambah nuansa dinamis dari “Nyok Neng”. Dengan adanya kreasi dari seni tradisi yang telah ada, akan dapat membuat seni tersebut hidup di tengah masyarakat sehingga seni dapat lestari.
Koreografer sengaja memilih kostum yang sangat sederhana dengan tanpa payet dan hanya sedikit manik-manik pada bagian tangan kebaya. Paduan warna hijau dan oranye menonjolkan warna-warna terang yang biasa pada kostum Betawi, dan mempertahankan ke-khas-an tumpal pada kain Betawi. Kostum ini sengaja dibuat sesederhana mungkin untuk memudahkan pergerakan penari tetapi ke-khas-an tetap dipertahankan, sehingga menunjukkan tarian ini membawa nuansa kontemporer tradisi. “Maksudnya, biar dari kostum, kita juga tetap menampilkan ke-Betawian”, ungkap Marina sang koreografer. Dengan demikian, koreografer mencoba berbicara mengenai ke-Betawian melalui simbol-simbol yang tidak hanya ada dalam musik dan gerak tari, bahkan melalui kostum para penarinya.
Penampilan “Nyok Neng” ditarikan oleh enam orang perempuan mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Unit Kegiatan Mahasiswa Liga Tari Krida Budaya Universitas Indonesia (LTMKB UI), dan diiringi musik oleh lima orang pemusik Betawi profesional, yaitu Bang Atin (juga sebagai penata musik), Bang Firman, Bang Agus, Bang Udin, dan Rai, serta dua orang pemusik dari LTMKB UI. Semangat para mahasiswa dalam melestarikan kesenian daerah baik sebagai koreografer, penari, maupun pemusik, patut ditiru demi keberlangsungan hidup kesenian daerah di negara kita yang akan menjadi aset kelestarian kebudayaan nasional.(MK)

Nyok Neng: Tarian dalam Ajang Pelestarian Tradisi

Kue bolu kue rengginang

Roti-roti dalam tetampe

Dari dulu udah dibilang

Kalo setengah ati, buat ape

Itulah pantun yang dibacakan oleh MC sebagai sinopsis yang mengawali pertunjukan tari dari DKI Jakarta pada Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) IX yang diselenggarakan di Jambi. Ajang lomba seni yang diikuti mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia ini diprakarsai oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) setiap dua tahun. Kegiatannya berlangsung selama sepekan dengan berbagai tangkai lomba seni, yaitu tari, paduan suara, fotografi, lukis, monolog, penyanyi seriosa, pop, dangdut, keroncong, dan membaca puisi.

Setiap daerah tidak diwajibkan untuk mengikuti seluruh tangkai lomba. Pada Peksiminas IX ini, yang berlangsung sejak tanggal 24-29 Juli 2008, DKI Jakarta mengirimkan wakilnya untuk mengikuti lomba tari, paduan suara, membaca puisi, monolog, seriosa, pop, dangdut, dan keroncong, yang didampingi oleh beberapa orang dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Universitas Indonesia, dan IPB. Kegiatan lomba dilakukan dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda, yaitu gedung RRI Jambi, Taman Budaya Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, dan auditorium Universitas Jambi sebagai tempat pengumuman di malam terakhir.

Dua bulan sebelum lomba di Jambi, tepatnya pada tanggal 23 Mei 2008, diadakan seleksi wilayah untuk memberangkatkan rombongan yang berangkat dari DKI Jakarta. Seleksi dilaksanakan di Balai Sidang Universitas Indonesia yang diikuti oleh mahasiswa dari Universitas Indonesia, IPB, Universitas Nasional, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Atma Jaya. Dari hasil seleksi, Universitas Indonesia memberangkatkan peserta lomba tari dan paduan suara.

Nyok Neng: Tari Kontemporer Tradisi

DKI Jakarta keluar sebagai juara dua dalam tangkai lomba tari di antara Bali (juara satu) dan Jawa Tengah (juara 3). Tari yang berjudul “Nyok Neng” karya dari koreografer muda Marina Krisnawati dari Universitas Indonesia dan Arimbi budiono sebagai asisten koreografer, mengusung tema perempuan. Tarian ini bercerita tentang dua sifat perempuan yaitu kasar dan lembut, pada klimaksnya terjadi pergulatan batin di dalam diri perempuan yang bimbang harus bersikap menghadapi kehidupan, dan sebagai antiklimaksnya perempuan dalam era kehidupan yang serba cepat dan instan harus dapat menjadi perempuan yang kuat walaupun tetap mempertahankan sifat lembut di dalam dirinya.

Tiga orang memerankan perempuan dengan sifat lembut dan sangat halus, sesuai dengan iringan musik tekyan dan alunan tembang yang keluar dari pemusik. Lalu, tiga orang silam ke belakang panggung dan digantikan tiga orang berikutnya yang memerankan sifat perempuan yang kasar dan kuat. “Dua peran ini memang sengaja di munculkan dengan waktu yang berlainan, dengan iringan musik yang sangat kontras, biar orang yang nonton bisa menangkap pesan yang diberikan melalui gerak dan musik”, ungkap Marina. Gerak tari “Nyok Neng” berasal dari gerakan dasar tari topeng Betawi yang dikreasikan dan dipadukan dengan cerita ke-kini-an sehingga menghasilkan tari kontemporer tradisi. Pada bagian pergulatan batin, dua peran dipertemukan dalam gerakan yang implisit menunjukan kebimbangan dan pertentangan oleh dua orang yang berbeda peran, yang kemudian terjadi titik temu di antara dua peran yang berbeda. Bagian terakhir, ditarikan oleh seluruh penari dengan gerakan yang rampak. Tarian ini berdurasi sepuluh menit dua belas detik.

Koreografer sengaja memilih kostum yang sangat sederhana dengan tanpa payet dan hanya sedikit manik-manik pada bagian tangan kebaya. Paduan warna hijau dan oranye menonjolkan warna-warna terang yang biasa pada kostum Betawi, dan mempertahankan ke-khas-an tumpal pada kain Betawi. Kostum ini sengaja dibuat sesederhana mungkin untuk memudahkan pergerakan penari tetapi ke-khas-an tetap dipertahankan, sehingga menunjukkan tarian ini membawa nuansa kontemporer tradisi.

“Nyok Neng” ditarikan oleh enam orang perempuan mahasiswa Universitas Indonesia yang berasal dari Unit Kegiatan Mahasiswa Liga Tari Krida Budaya Universitas Indonesia (LTMKB UI), dan diiringi musik oleh lima orang pemusik Betawi profesional, yaitu Bang Atin (juga sebagai penata musik), Bang Firman, Bang Agus, Bang Udin, dan Rai, serta dua orang pemusik dari LTMKB UI.

Ajang Pelestarian Tradisi

Ajang perlombaan mahasiswa tingkat nasional pada bidang seni ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan bakat serta prestasi di bidang kesenian. Selain itu, dapat menjadi salah satu usaha melestarikan kesenian, “dengan menari sesuai daerah asal, berarti dapat mempertahankan kesenian daerah, walaupun bentuknya tidak lagi murni tradisi, tetapi kontemporer tradisi”, ungkap Tom Ibnur salah seorang koreografer senior yang berperan sebagai salah satu juri dalam tangkai lomba tari.

Ketentuan yang harus diikuti oleh peserta lomba tari salah satunya adalah menarikan tari daerah masing-masig, misalnya DKI Jakarta membawa tari khas daerah Betawi walaupun tidak lagi murni tradisi. Dengan cara seperti ini, kesenian daerah makin dikenal di antara mahasiswa dari daerah yang berbeda-beda, dan menjadi usaha pelestarian seni daerah. Selain itu, ketentuan menampilkan tarian yang belum pernah dilombakan sebelumnya. Hal ini merangsang kreatifitas, bakat, dan prestasi pada bidang seni.

“Pastinya acara kaya gini bisa jadi kita mengenal kesenian masing-masing daerah, terutama dari tangkai lomba tari, walaupun selain itu bisa juga jadi ajang pertemanan antar daerah, jadi, yang pasti acara seperti ini harus tetap dipertahankan”, ungkap Mila salah seorang penari dari DKI Jakarta.

Dana Pendukung

Acara peksiminas selalu diselenggarakan secara bergiliran. Tahun 2006 dilaksanakan di Makassar, tahun 2008 di Jambi, dan rencananya tahun 2010 akan dilaksanakan di Pontianak. Tentunya hal ini menjadi tidak mudah bagi peserta untuk ikut serta karena perlunya dana yang dikeluarkan untuk biaya transportasi, yang ternyata tidak selalu ditanggung oleh pemerintah daerah setempat. Kadang-kadang kurangnya dana yang dimiliki membuat jumlah kontingen harus dikurangi. “Pemusiknya jangan terlalu banyak karena biaya transportasi pesawatnya tidak murah”, ungkap salah satu pendamping kontingen DKI Jakarta kepada ketua rombongan peserta lomba tari.

Walaupun demikian, minimnya dana tidak menjadi persoalan umum yang dihadapi oleh setiap kontingen yang bertanding, karena beberapa kontingen terlihat mengenakan seragam sponsor yang bertuliskan nama daerahnya. Maka, sangat disayangkan jika dana menjadi penghalang atas semangat-semangat pemuda yang kompeten dan masih ingin berlomba untuk mengharumkan daerahnya.(emka)

Angin Segar dari Kipas Batik


Pasti pernah terlintas di pikiran kita bahwa batik kian ‘naik daun’. Buktinya tidak hanya orang tua, tetapi anak-anak muda sekarang menggandrungi batik. Tren batik memang semakin diterima di kalangan anak muda sejak motif batik mengalami berbagai kreasi cipta. Mulai dari rok pendek, kemeja, bahkan tank top dengan motif batik. Harga berbagai pakaian dengan motif batik pun beragam. Hampir disetiap bazaar, dapat ditemui stan yang menjual pakaian dengan motif batik, harganya mulai dari Rp 40.000,- sampai dengan Rp 100.000,-.

Ternyata motif batik tidak hanya bagus untuk menjadi motif pakaian, barang-barang yang dibuat dari bahan batik juga kian menjadi incaran para pecinta batik. Tas selempang, slayer, sandal, topi, tempat tisu, seprei, sarung bantal, dompet, dan masih banyak lagi barang-barang yang menggunakan kain batik. Ini berarti kain batik telah mengalami perluasan manfaat, yang awalnya kita tahu orang menggunakan kain batik hanya ketika dipadukan dengan kebaya, atau sebagai pakaian resmi, namun kini manfaatnya menjadi beragam.

Jika kita berbicara mengenai batik, secara langsung satu kata yang terbersit di pikiran kita adalah Jawa. Memang tidak salah, karena batik berasal dari Jawa, walaupun beberapa daerah di Indonesia juga memiliki kain batik, namun ada perbedaan corak yang khas yang membedakan antara batik satu daerah dengan batik daerah lain. Umumnya batik diidentikkan dengan orang Jawa, karena memang sudah sejak dahulu batik menjadi pasangan baju kebaya. Maka tidak heran jika kita mau mencari kain batik dengan pilihan corak yang beragam, kita akan pergi ke daerah di Jawa seperti Yogyakarta dan Solo. Sangat tidak sulit untuk mencari toko batik yang menjual berbagai barang dengan corak batik di kota Yogyakarta. Kota ini menyediakan kawasan yang memang menjadi wajib dikunjungi para wisatawan untuk berburu oleh-oleh, dimana lagi kalau bukan di Malioboro.

Kawasan Malioboro beroperasi mulai pukul 10 pagi hingga pukul 7 malam setiap harinya. Dalam rentang waktu itu, para pedagang menjajakan barang dagangannya di sepanjang pinggir jalan Malioboro yang jaraknya hingga satu kilometer, dari lampu merah perempatan dekat stasiun Yogyakarta hingga benteng Vredenberg. Tidak hanya ada penjual barang-barang dengan motif batik, tetapi banyak sekali pedagang yang menjual barang-barang yang dapat dijadikan oleh-oleh seperti gelang, kalung, dan cinderamata lainnya.

Dengan banyaknya toko dan pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, menjadi sangat mudah bagi kita untuk menemukan barang-barang dengan motif batik. Harganya pun beragam, ada harga yang bisa ditawar di pedagang kaki lima, dan ada pula harga yang sudah dibandrol di toko-toko. Barang yang dijual di kaki lima juga tidak kalah bagusnya, tetapi kita harus bisa menawar harga agar kita bisa mendapat harga yang miring, terlebih jika kita bisa berbahasa Jawa, karena biasanya para pedagang memasang harga dua kali lipat dari harga sebenarnya apalagi jika kita ketawan sebagai wisatawan.

Ternyata motif batik tidak hanya diminati sebagai oleh-oleh, tetapi dapat juga sebagai cinderamata perkawinan, ataupun untuk dijual di luar negeri. Tidak sedikit orang menikah yang menggunakan kipas bermotif batik sebagai cinderamatanya, dan tidak sulit untuk mendapatkan kipas motif batik dalam jumlah besar dengan harga murah. Di pasar Jatinegara menyediakan berbagai cinderamata perkawinan, salah satunya kipas bermotif batik. Ukurannya pun beragam, ada yang kecil dan ada yang sedang. Harga kipas yang sedang dijual Rp 1.500,- per buah, walaupun kalau di Malioboro kita bisa mendapatkannya dengan harga Rp 1.000,- per buah. Dengan harga murah ini pasti kita tergiur untuk membeli banyak. Tapi memang tidak ada salahnya jika kita ingin membeli banyak, terlebih jika kita ingin menjualnya kembali di luar negeri.

Kipas dengan motif batik ternyata sangat digandrungi oleh ibu-ibu di Eropa. Pada musim festival tari internasional yang dilaksanakan di Prancis dan diikuti oleh berbagai negara, panitia festival menyediakan stan khusus untuk menjajakan barang-barang khas dari negara masing-masing. Kipas motif batik sangat diminati dibandingkan barang-barang kerajinan lainnya. Satu buah kipas motif batik dapat dijual dengan harga 1 uero. Ini berarti dua belas kali lipat harga kita membeli satu buah kipas di Malioboro. Dan harga satu buah kipas batik yang juga berfungsi sebagai topi, dapat dijual dengan harga 10 uero, yaitu sekitar Rp 120.000,-, padahal harga satu buahnya di Malioboro adalah Rp 10.000,-. Dengan perbandingan harga yang begitu jauh, kipas motif batik bisa menjadi angin segar dengan keuntungan harga jual di luar negeri yang berlipat-lipat. Maka, sudah seharusnya kita menjaga batik milik bangsa kita, salah satunya dengan cara bangga memakai motif batik.(emka)